Oleh : Steve Edpin
Beberapa perbedaan mendasar antara Heer (angkatan darat) dan Waffen-SS dilihat dari beberapa sudut pandang.
1. PEREKRUTAN & ANGGOTA
Ada beberapa faktor yang membedakan Heer dan Waffen-SS dalam memilih anggotanya, salah satunya adalah faktor edukasi formal. Dalam Heer, yang bisa menjabat sebagai perwira hanyalah orang-orang yang terpilih dan memiliki pendidikan formal, contohnya sekolah tinggi dan universitas. Bagi mereka yang memiliki persyaratan tersebut, dapat langsung mendaftarkan diri sebagai calon perwira. Untuk para petugas dalam jajaran angkatan bersenjata (Wehrmachtbeamten) pun, anggotanya dibagi menjadi empat level karir tergantung dari seberapa tinggi pendidikan formal yang telah ditempuh. Sebaliknya, dalam Waffen-SS hal yang diutamakan adalah kebugaran fisik, kekuatan secara mental dan psikologis, tanpa mementingkan pendidikan formal (kecuali anggota Allgemeine-SS dan dinas keamanan yang membutuhkan orang-orang cerdas sebagai 'otak' dari organisasinya). Seseorang harus berdinas dalam SS minimal satu tahun sebelum bisa mendaftarkan diri menjadi calon perwira.
Selain itu, walaupun para prajurit Heer berasal dari latar belakang yang beraneka ragam, para perwira di jajaran Heer cenderung terdiri dari mereka yang memiliki status, kelas, atau kedudukan tinggi (noblemen) di kalangan masyarakat Jerman, terutama pasukan kavaleri yang terkenal anggotanya didominasi oleh kaum bangsawan.
Hal ini sangat berlawanan dengan pandangan Waffen-SS yang lebih memilih anggota-anggotanya dari kawasan pinggiran kota dan daerah pedesaan karena dianggap lebih dapat menguasai medan pertempuran yang sulit dengan cepat. Pada awalnya, para calon perwira Waffen-SS dipilih dan direkomendasikan oleh atasan-atasan mereka secara pribadi. Di beberapa kasus, terkadang hal ini terbukti berat sebelah karena atasan-atasan tidak merekomendasikan bawahan-bawahannya secara objektif. Pengecualian untuk dinas keamanan dan intelijen dalam tubuh SS yang anggotanya disaring dari orang-orang paling cerdas dari segala penjuru Jerman.
Dari segi fisik, Heer bisa dibilang agak longgar dalam menerima anggota-anggotanya. Namun tetap saja tes kesehatan awal harus dilakukan dengan menyeluruh. Bagi mereka yang lolos akan dicap layak dan dapat menjadi anggota aktif angkatan bersenjata. Bagi mereka yang tidak lolos namun masih layak untuk berdinas akan dicap 'Dinas Militer Cadangan', jika sewaktu-waktu mobilisasi dilakukan mereka akan dipanggil menjadi anggota aktif.
Bagi Waffen-SS, tahap penyeleksian fisik lebih ketat. Terutama untuk pasukan SS awal (SS-Verfügungstruppe), hanya yang berumur 17-22 tahun yang boleh mendaftar (demi keperluan perang batasan umur ditingkatkan menjadi 35 tahun). Mereka harus memiliki tinggi badan minimal 172-178 cm, tergantung dari unitnya. Mereka harus memiliki penglihatan jelas secara normal tanpa kacamata dan gigi lengkap yang tidak ditambal. Mereka pun harus orang Jerman asli dan dapat membuktikan kemurnian rasnya paling sedikit dari tahun 1800.
Untuk hal pelatihan, Heer merupakan suatu struktur militer yang sudah ada sejak lama. Mereka sudah memiliki prosedur-prosedur yang terstruktur, baik dalam tahap perencanaan maupun operasional. Akan tetapi, pada awal terbentuknya, SS tidak memiliki struktur pelatihan yang dapat diikuti secara pasti oleh semua unit. Waffen-SS bukanlah suatu formasi tempur yang matang, dan baru resmi terbentuk pada tahun 1940. Banyak materi-materi yang diadopsi dari Heer diimplementasikan di SS, termasuk teori-teori tempur revolusioner yang berasal dari departemen penelitian Heer. Itulah salah satu alasan mengapa SS membentuk Allgemeine-SS yang dirancang untuk melakukan segala sesuatu dari sudut pandang SS.
2. PENDIDIKAN
Dalam Heer - umumnya pada masa sebelum perang - pendidikan dititikberatkan pada pengetahuan dan doktrin militer tradisional seperti: sejarah militer Jerman, penguasaan senjata, membaca peta, taktik-taktik logis, penguasaan lapangan, dan di beberapa kasus, sedikit dasar-dasar paham nasional sosialisme. Heer juga dilatih untuk memahami hukum-hukum perang yang sudah berlaku secara internasional, sesuatu yang tidak ada dalam SS.
Berbeda dengan kawan-kawan militer di SS, sekalipun taktik militer yang mereka gunakan sebagian besar berasal dari Heer, pendidikan Waffen-SS dititikberatkan pada paham nasional sosialisme yang sangat mendalam yang mengharuskan agar anggota-anggotanya menunjukkan kefanatikannya dalam bertempur, yang seringkali menyerah atau mundur dari pertempuran dihilangkan dari kamus mereka. Mereka pun memiliki kelas pendidikan ideologi dan politik secara terpisah, di mana sebagian besar anggota sama sekali tidak memahami materi yang diberikan, selain indoktrinasi yang dicekoki secara buta.
Perbedaan yang paling mencolok, dibanding dengan Heer, kenaikan pangkat dalam SS lebih bergantung pada komitmen pribadi dalam SS, keefektifan di lapangan, dan pengetahuan politik. Sedangkan dalam Heer, kenaikan pangkat difokuskan pada kelas, pendidikan, dan wawasan yang luas.
Seperti yang telah dijelaskan pada poin 1 sebelumnya, dalam Heer, jabatan perwira disandang oleh mereka yang berasal dari kelas menengah atas dan yang memiliki kualifikasi pendidikan formal. Namun, tidak demikian halnya dalam SS.
3. RASA PERSAUDARAAN
Waffen-SS selalu menekankan kesadaran pribadi akan kedisiplinan dan rasa saling menghormati satu sama lain. Namun dalam jajaran Heer yang lebih menekankan militer tradisional, terlihat lebih kaku karena kedisiplinan selalu ditekankan dari atasan dalam kehidupan sehari-hari.
Dilihat dari segi suasana kerja secara keseluruhan, suasana di SS lebih santai daripada Heer. Hubungan keseharian antara atasan dan bawahan juga lebih santai dalam SS. Perwira SS disebut sebagai 'Führer' (pemimpin), sedangkan dalam Heer disebut sebagai 'Offizier' (perwira). Para anggota SS memanggil atasannya langsung dengan pangkat, sedangkan dalam Heer yang lebih disiplin, panggilan disertai dengan kata 'Herr' (Bapak) sebelum pangkat. Panggilan-panggilan ini dapat diikuti dengan nama belakang. Sebaliknya, dalam suasana latihan, para prajurit Waffen-SS digembleng habis-habisan oleh atasannya.
Semua anggota SS - tidak peduli pangkat mereka, baik SS-Schütze (prajurit SS paling bawah) maupun Reichsführer-SS (pemimpin SS) - disebut SS-Mann, yang secara harafiah berarti 'orang SS' atau 'anggota SS'.
Waffen-SS selalu menekankan pada para perwira agar mereka membaur dalam segala aktivitas dengan bawahan-bawahannya. Rasa saling percaya antara atasan dan bawahan, maupun antar sesama prajurit dibiasakan sejak di barak. Para prajurit diperintahkan untuk tidak mengunci lemari penyimpanan mereka di barak dengan tujuan mendidik mereka agar saling percaya satu sama lain. Jika seorang prajurit memanfaatkan rasa saling percaya ini dan mencuri barang milik kawannya, maka hukuman yang diberikan akan lebih berat daripada hukuman yang diberikan Heer, dan ganjarannya pun lebih keras daripada yang bisa dibayangkan.
Moto SS "Meine Ehre heißt Treue" (kehormatanku adalah kesetiaan) merupakan sesuatu yang didalami dalam kehidupan mereka. Loyalitas yang ditunjukkan di awal tahun pertempuran diutamakan pada negara dan Führer mereka. Tapi seiring berjalannya perang dan kekalahan Jerman yang bertubi-tubi, kesetiaan ini menjadi pudar dan pasukan SS menunjukkan kesetiaan yang berbeda, yaitu rasa rela berkorban terhadap kawan-kawan mereka yang mampu mereka terapkan dalam aksi langsung. Rasa setiakawan SS ini tidak terdapat di semua militer Jerman, kecuali beberapa pasukan seperti Fallschirmjäger yang memiliki moto "Treue um Treue" (kesetiaan demi kesetiaan).
Meski demikian, para anggota Waffen-SS Jerman (Jerman asli) memperlakukan anggota Waffen-SS lainnya - baik Jermanik (keturunan Jerman) maupun non-Jermanik (bukan keturunan Jerman) - secara berbeda. Mereka memperlakukan anggota SS lain ini dengan kasar. Seringkali dalam pelatihan mereka diperlakukan dengan tidak hormat dan dicacimaki. Dan tidak jarang juga Himmler harus turun tangan dengan cara memberi teguran atau bahkan mencopot posisi para instruktur SS Jerman ini agar memperlakukan kawan-kawan SS lainnya dengan setara.
4. KEPERCAYAAN
Dalam Heer - layaknya para prajurit di sebagian besar negara Eropa yang didominasi agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan - kepercayaan atau agama dianggap merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Agama memberikan kepercayaan spiritual yang secara tidak langsung mempengaruhi aksi para prajurit di lapangan, terutama secara mental. Heer memiliki pastor atau pendeta lapangan yang bertugas memberikan berbagai sakramen bagi para prajuritnya.
Sebaliknya, anggota SS didorong untuk meninggalkan agama mereka. Himmler menganjurkan agar petinggi-petinggi Allgemeine-SS mulai meninggalkan agama mereka untuk memberikan contoh kepada bawahan-bawahannya. Himmler memiliki sebuah tujuan untuk membangun suatu 'agama' baru yang dianut SS, di mana Mein Kampf menjadi kitab keagamaannya. Segala proses kehidupan pun dilakukan secara SS, mulai dari pembaptisan bayi, pernikahan, dan pemakaman orang meninggal, yang semuanya dilakukan ala SS.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak anggota SS yang telah meninggalkan gereja, pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya menjelang akhir perang di mana Jerman berada di ambang kekalahan besar.
4. AKSI
Karena sebagian besar anggota Waffen-SS bukanlah orang yang memiliki standar pendidikan formal yang memadai, mereka cenderung lebih mudah dicekoki indoktrinasi politik dan menjalankan perintah tanpa pertimbangan. Hal ini mengakibatkan prajurit rendahan Waffen-SS cenderung lebih fanatik dan tidak logis dalam pertempuran, karena mereka tidak mampu berpikir secara kritis dalam menangani hal-hal yang bersifat umum. Mereka cenderung memecahkan segala masalah dengan 'cara militer' dan hanya melakukan apa yang diperintahkan tanpa berpikir lebih lanjut.
Di satu sisi, kefanatikan di pertempuran ini memberikan dampak positif yang membuat musuhnya tercengang karena sifat pasukan Waffen-SS yang pantang menyerah serta mampu bertahan meski dalam jumlah yang kecil sekalipun dibanding musuhnya. Pasukan Waffen-SS terkenal nekat dalam mengambil resiko. Hal ini terbukti efektif di medan tempur. Namun di sisi lain, karena hal ini juga Waffen-SS dapat dinilai tidak efisien dalam mengalokasikan pasukannya. Begitu besar jumlah korban yang diderita selama pertempuran hanya karena mereka mempertahankan mati-matian suatu objektif atas nama ideologi yang bahkan tidak mereka mengerti.
Karena hal itu jugalah banyak sekali anggota Waffen-SS yang memperlakukan anggota Waffen-SS lain dengan kasar, seperti yang telah disebut pada poin 3. Selain itu, mereka secara terang-terangan memendam kebencian buta terhadap musuh-musuhnya. Di Front Timur kebencian akan Yahudi-Bolshevisme secara gencar dikumandangkan. Di Front Barat kebencian akan sekutu Anglo-Amerika juga disebarluaskan. Karena hal inilah, pasukan SS terkenal sebagai pasukan 'rendahan' yang tidak menjunjung nilai ksatria dalam menjalani peperangan, di mana mereka terlihat menjalani pertempuran tanpa ikut ambil bagian dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai sebuah organisasi militer profesional. Sebagai contoh: setelah perang usai, mantan prajurit dan perwira SS mengakui bahwa banyak elemen pasukan Waffen-SS mengeksekusi tahanan perang dengan alasan karena mereka tidak ingin mengurus tahanan perang yang akan menghambat gerak maju pasukan; sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka untuk memperlakukan tahanan perangnya dengan baik.
Berbeda dengan Heer yang merupakan suatu angkatan yang masih memegang teguh norma-norma perang secara ksatria (chivalrous warfare) seperti yang sudah dihadapi nenek moyang mereka. Meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan anggota-anggota Wehrmacht juga terlibat dalam kejahatan perang. Seiring berjalannya perang, dapat dikatakan semua negara melakukan kejahatan perang.
5. JUMLAH KORBAN
Seperti yang telah dijelaskan pada poin 4, jumlah korban yang diderita Waffen-SS begitu besar karena indoktrinasi politik dan ideologi nasional sosialis yang sudah diberikan sejak awal mereka bergabung dengan SS. Akan tetapi masih banyak perdebatan di kalangan sejarawan mengenai jumlah korban yang diderita Waffen-SS dibanding Heer. Selama perang Heer kehilangan sepertiga dari jumlah keseluruhan pasukannya, sedangkan Waffen-SS secara total kehilangan seperempat pasukannya. Salah satu faktor yang menyebabkan Waffen-SS kehilangan lebih sedikit korban adalah karena indoktrinasi yang diberikan menyebabkan mereka menjadi agresif saat ofensif dan tetap tegar dalam posisi defensif.
6. KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi bahwa Waffen-SS telah membuktikan kapasitasnya sebagai suatu formasi tempur yang tangguh dalam sejarah perang modern. Namun, kembali lagi pada beberapa pembahasan di atas, karena kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, Waffen-SS tidak dianggap oleh para musuhnya sebagai suatu formasi tempur yang terhormat. Para tahanan perang Waffen-SS sering dihajar oleh musuh-musuhnya, dan diperlakukan lebih kasar daripada tahanan angkatan bersenjata lainnya. Para mantan anggota SS tidak berhak mendapatkan dana pensiun dan keuntungan-keuntungan lain seperti yang didapat anggota Heer.
Berbeda dengan SS, Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) mampu menempatkan dirinya setara dengan legiun Caesar dan Grande Armeé Napoleon sebagai suatu formasi tempur teratas sepanjang sejarah, yang bukan saja dilihat dari kemampuan tempurnya namun juga dilihat dari jiwa prajurit sebagai ksatria. Seusai perang, tahanan perang Wehrmacht lebih bersahabat dan lebih mudah diajak berkompromi; suatu hal yang lebih disukai Sekutu sehingga mereka diperlakukan dengan lebih baik.
Tidak dapat dipungkiri, SS berperan besar dalam melikuidasi begitu banyak populasi dan tahanan perang. Dapat kita lihat, di mana pasukan SS beroperasi, hampir selalu ada kejahatan perang yang mengikutinya. Perbedaan yang begitu mencolok jika kita lihat medan tempur Afrika. Tidak ada kejahatan perang massal yang terjadi di sana, seperti yang terjadi di medan Eropa. Salah satu alasan yang dapat diambil adalah karena tidak ada pasukan SS yang disebar di medan Afrika untuk fungsi tempur. Ada sebuah kantor keamanan SS yang dibuka namun hanya berfungsi untuk tugas garis belakang dan fungsi non-tempur. Antara Jerman-Italia dan Inggris juga saling menghormati satu sama lain di medan tempur. Terlebih lagi Jerman yang dipimpin oleh Rommel, dan Inggris yang akhirnya dipimpin Montgomery, dua jenderal terhormat yang menjunjung tinggi 'the rules of chivalrous warfare'.
1. PEREKRUTAN & ANGGOTA
Ada beberapa faktor yang membedakan Heer dan Waffen-SS dalam memilih anggotanya, salah satunya adalah faktor edukasi formal. Dalam Heer, yang bisa menjabat sebagai perwira hanyalah orang-orang yang terpilih dan memiliki pendidikan formal, contohnya sekolah tinggi dan universitas. Bagi mereka yang memiliki persyaratan tersebut, dapat langsung mendaftarkan diri sebagai calon perwira. Untuk para petugas dalam jajaran angkatan bersenjata (Wehrmachtbeamten) pun, anggotanya dibagi menjadi empat level karir tergantung dari seberapa tinggi pendidikan formal yang telah ditempuh. Sebaliknya, dalam Waffen-SS hal yang diutamakan adalah kebugaran fisik, kekuatan secara mental dan psikologis, tanpa mementingkan pendidikan formal (kecuali anggota Allgemeine-SS dan dinas keamanan yang membutuhkan orang-orang cerdas sebagai 'otak' dari organisasinya). Seseorang harus berdinas dalam SS minimal satu tahun sebelum bisa mendaftarkan diri menjadi calon perwira.
Selain itu, walaupun para prajurit Heer berasal dari latar belakang yang beraneka ragam, para perwira di jajaran Heer cenderung terdiri dari mereka yang memiliki status, kelas, atau kedudukan tinggi (noblemen) di kalangan masyarakat Jerman, terutama pasukan kavaleri yang terkenal anggotanya didominasi oleh kaum bangsawan.
Hal ini sangat berlawanan dengan pandangan Waffen-SS yang lebih memilih anggota-anggotanya dari kawasan pinggiran kota dan daerah pedesaan karena dianggap lebih dapat menguasai medan pertempuran yang sulit dengan cepat. Pada awalnya, para calon perwira Waffen-SS dipilih dan direkomendasikan oleh atasan-atasan mereka secara pribadi. Di beberapa kasus, terkadang hal ini terbukti berat sebelah karena atasan-atasan tidak merekomendasikan bawahan-bawahannya secara objektif. Pengecualian untuk dinas keamanan dan intelijen dalam tubuh SS yang anggotanya disaring dari orang-orang paling cerdas dari segala penjuru Jerman.
Dari segi fisik, Heer bisa dibilang agak longgar dalam menerima anggota-anggotanya. Namun tetap saja tes kesehatan awal harus dilakukan dengan menyeluruh. Bagi mereka yang lolos akan dicap layak dan dapat menjadi anggota aktif angkatan bersenjata. Bagi mereka yang tidak lolos namun masih layak untuk berdinas akan dicap 'Dinas Militer Cadangan', jika sewaktu-waktu mobilisasi dilakukan mereka akan dipanggil menjadi anggota aktif.
Bagi Waffen-SS, tahap penyeleksian fisik lebih ketat. Terutama untuk pasukan SS awal (SS-Verfügungstruppe), hanya yang berumur 17-22 tahun yang boleh mendaftar (demi keperluan perang batasan umur ditingkatkan menjadi 35 tahun). Mereka harus memiliki tinggi badan minimal 172-178 cm, tergantung dari unitnya. Mereka harus memiliki penglihatan jelas secara normal tanpa kacamata dan gigi lengkap yang tidak ditambal. Mereka pun harus orang Jerman asli dan dapat membuktikan kemurnian rasnya paling sedikit dari tahun 1800.
Untuk hal pelatihan, Heer merupakan suatu struktur militer yang sudah ada sejak lama. Mereka sudah memiliki prosedur-prosedur yang terstruktur, baik dalam tahap perencanaan maupun operasional. Akan tetapi, pada awal terbentuknya, SS tidak memiliki struktur pelatihan yang dapat diikuti secara pasti oleh semua unit. Waffen-SS bukanlah suatu formasi tempur yang matang, dan baru resmi terbentuk pada tahun 1940. Banyak materi-materi yang diadopsi dari Heer diimplementasikan di SS, termasuk teori-teori tempur revolusioner yang berasal dari departemen penelitian Heer. Itulah salah satu alasan mengapa SS membentuk Allgemeine-SS yang dirancang untuk melakukan segala sesuatu dari sudut pandang SS.
2. PENDIDIKAN
Dalam Heer - umumnya pada masa sebelum perang - pendidikan dititikberatkan pada pengetahuan dan doktrin militer tradisional seperti: sejarah militer Jerman, penguasaan senjata, membaca peta, taktik-taktik logis, penguasaan lapangan, dan di beberapa kasus, sedikit dasar-dasar paham nasional sosialisme. Heer juga dilatih untuk memahami hukum-hukum perang yang sudah berlaku secara internasional, sesuatu yang tidak ada dalam SS.
Berbeda dengan kawan-kawan militer di SS, sekalipun taktik militer yang mereka gunakan sebagian besar berasal dari Heer, pendidikan Waffen-SS dititikberatkan pada paham nasional sosialisme yang sangat mendalam yang mengharuskan agar anggota-anggotanya menunjukkan kefanatikannya dalam bertempur, yang seringkali menyerah atau mundur dari pertempuran dihilangkan dari kamus mereka. Mereka pun memiliki kelas pendidikan ideologi dan politik secara terpisah, di mana sebagian besar anggota sama sekali tidak memahami materi yang diberikan, selain indoktrinasi yang dicekoki secara buta.
Perbedaan yang paling mencolok, dibanding dengan Heer, kenaikan pangkat dalam SS lebih bergantung pada komitmen pribadi dalam SS, keefektifan di lapangan, dan pengetahuan politik. Sedangkan dalam Heer, kenaikan pangkat difokuskan pada kelas, pendidikan, dan wawasan yang luas.
Seperti yang telah dijelaskan pada poin 1 sebelumnya, dalam Heer, jabatan perwira disandang oleh mereka yang berasal dari kelas menengah atas dan yang memiliki kualifikasi pendidikan formal. Namun, tidak demikian halnya dalam SS.
3. RASA PERSAUDARAAN
Waffen-SS selalu menekankan kesadaran pribadi akan kedisiplinan dan rasa saling menghormati satu sama lain. Namun dalam jajaran Heer yang lebih menekankan militer tradisional, terlihat lebih kaku karena kedisiplinan selalu ditekankan dari atasan dalam kehidupan sehari-hari.
Dilihat dari segi suasana kerja secara keseluruhan, suasana di SS lebih santai daripada Heer. Hubungan keseharian antara atasan dan bawahan juga lebih santai dalam SS. Perwira SS disebut sebagai 'Führer' (pemimpin), sedangkan dalam Heer disebut sebagai 'Offizier' (perwira). Para anggota SS memanggil atasannya langsung dengan pangkat, sedangkan dalam Heer yang lebih disiplin, panggilan disertai dengan kata 'Herr' (Bapak) sebelum pangkat. Panggilan-panggilan ini dapat diikuti dengan nama belakang. Sebaliknya, dalam suasana latihan, para prajurit Waffen-SS digembleng habis-habisan oleh atasannya.
Semua anggota SS - tidak peduli pangkat mereka, baik SS-Schütze (prajurit SS paling bawah) maupun Reichsführer-SS (pemimpin SS) - disebut SS-Mann, yang secara harafiah berarti 'orang SS' atau 'anggota SS'.
Waffen-SS selalu menekankan pada para perwira agar mereka membaur dalam segala aktivitas dengan bawahan-bawahannya. Rasa saling percaya antara atasan dan bawahan, maupun antar sesama prajurit dibiasakan sejak di barak. Para prajurit diperintahkan untuk tidak mengunci lemari penyimpanan mereka di barak dengan tujuan mendidik mereka agar saling percaya satu sama lain. Jika seorang prajurit memanfaatkan rasa saling percaya ini dan mencuri barang milik kawannya, maka hukuman yang diberikan akan lebih berat daripada hukuman yang diberikan Heer, dan ganjarannya pun lebih keras daripada yang bisa dibayangkan.
Moto SS "Meine Ehre heißt Treue" (kehormatanku adalah kesetiaan) merupakan sesuatu yang didalami dalam kehidupan mereka. Loyalitas yang ditunjukkan di awal tahun pertempuran diutamakan pada negara dan Führer mereka. Tapi seiring berjalannya perang dan kekalahan Jerman yang bertubi-tubi, kesetiaan ini menjadi pudar dan pasukan SS menunjukkan kesetiaan yang berbeda, yaitu rasa rela berkorban terhadap kawan-kawan mereka yang mampu mereka terapkan dalam aksi langsung. Rasa setiakawan SS ini tidak terdapat di semua militer Jerman, kecuali beberapa pasukan seperti Fallschirmjäger yang memiliki moto "Treue um Treue" (kesetiaan demi kesetiaan).
Meski demikian, para anggota Waffen-SS Jerman (Jerman asli) memperlakukan anggota Waffen-SS lainnya - baik Jermanik (keturunan Jerman) maupun non-Jermanik (bukan keturunan Jerman) - secara berbeda. Mereka memperlakukan anggota SS lain ini dengan kasar. Seringkali dalam pelatihan mereka diperlakukan dengan tidak hormat dan dicacimaki. Dan tidak jarang juga Himmler harus turun tangan dengan cara memberi teguran atau bahkan mencopot posisi para instruktur SS Jerman ini agar memperlakukan kawan-kawan SS lainnya dengan setara.
4. KEPERCAYAAN
Dalam Heer - layaknya para prajurit di sebagian besar negara Eropa yang didominasi agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan - kepercayaan atau agama dianggap merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Agama memberikan kepercayaan spiritual yang secara tidak langsung mempengaruhi aksi para prajurit di lapangan, terutama secara mental. Heer memiliki pastor atau pendeta lapangan yang bertugas memberikan berbagai sakramen bagi para prajuritnya.
Sebaliknya, anggota SS didorong untuk meninggalkan agama mereka. Himmler menganjurkan agar petinggi-petinggi Allgemeine-SS mulai meninggalkan agama mereka untuk memberikan contoh kepada bawahan-bawahannya. Himmler memiliki sebuah tujuan untuk membangun suatu 'agama' baru yang dianut SS, di mana Mein Kampf menjadi kitab keagamaannya. Segala proses kehidupan pun dilakukan secara SS, mulai dari pembaptisan bayi, pernikahan, dan pemakaman orang meninggal, yang semuanya dilakukan ala SS.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak anggota SS yang telah meninggalkan gereja, pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya menjelang akhir perang di mana Jerman berada di ambang kekalahan besar.
4. AKSI
Karena sebagian besar anggota Waffen-SS bukanlah orang yang memiliki standar pendidikan formal yang memadai, mereka cenderung lebih mudah dicekoki indoktrinasi politik dan menjalankan perintah tanpa pertimbangan. Hal ini mengakibatkan prajurit rendahan Waffen-SS cenderung lebih fanatik dan tidak logis dalam pertempuran, karena mereka tidak mampu berpikir secara kritis dalam menangani hal-hal yang bersifat umum. Mereka cenderung memecahkan segala masalah dengan 'cara militer' dan hanya melakukan apa yang diperintahkan tanpa berpikir lebih lanjut.
Di satu sisi, kefanatikan di pertempuran ini memberikan dampak positif yang membuat musuhnya tercengang karena sifat pasukan Waffen-SS yang pantang menyerah serta mampu bertahan meski dalam jumlah yang kecil sekalipun dibanding musuhnya. Pasukan Waffen-SS terkenal nekat dalam mengambil resiko. Hal ini terbukti efektif di medan tempur. Namun di sisi lain, karena hal ini juga Waffen-SS dapat dinilai tidak efisien dalam mengalokasikan pasukannya. Begitu besar jumlah korban yang diderita selama pertempuran hanya karena mereka mempertahankan mati-matian suatu objektif atas nama ideologi yang bahkan tidak mereka mengerti.
Karena hal itu jugalah banyak sekali anggota Waffen-SS yang memperlakukan anggota Waffen-SS lain dengan kasar, seperti yang telah disebut pada poin 3. Selain itu, mereka secara terang-terangan memendam kebencian buta terhadap musuh-musuhnya. Di Front Timur kebencian akan Yahudi-Bolshevisme secara gencar dikumandangkan. Di Front Barat kebencian akan sekutu Anglo-Amerika juga disebarluaskan. Karena hal inilah, pasukan SS terkenal sebagai pasukan 'rendahan' yang tidak menjunjung nilai ksatria dalam menjalani peperangan, di mana mereka terlihat menjalani pertempuran tanpa ikut ambil bagian dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai sebuah organisasi militer profesional. Sebagai contoh: setelah perang usai, mantan prajurit dan perwira SS mengakui bahwa banyak elemen pasukan Waffen-SS mengeksekusi tahanan perang dengan alasan karena mereka tidak ingin mengurus tahanan perang yang akan menghambat gerak maju pasukan; sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka untuk memperlakukan tahanan perangnya dengan baik.
Berbeda dengan Heer yang merupakan suatu angkatan yang masih memegang teguh norma-norma perang secara ksatria (chivalrous warfare) seperti yang sudah dihadapi nenek moyang mereka. Meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan anggota-anggota Wehrmacht juga terlibat dalam kejahatan perang. Seiring berjalannya perang, dapat dikatakan semua negara melakukan kejahatan perang.
5. JUMLAH KORBAN
Seperti yang telah dijelaskan pada poin 4, jumlah korban yang diderita Waffen-SS begitu besar karena indoktrinasi politik dan ideologi nasional sosialis yang sudah diberikan sejak awal mereka bergabung dengan SS. Akan tetapi masih banyak perdebatan di kalangan sejarawan mengenai jumlah korban yang diderita Waffen-SS dibanding Heer. Selama perang Heer kehilangan sepertiga dari jumlah keseluruhan pasukannya, sedangkan Waffen-SS secara total kehilangan seperempat pasukannya. Salah satu faktor yang menyebabkan Waffen-SS kehilangan lebih sedikit korban adalah karena indoktrinasi yang diberikan menyebabkan mereka menjadi agresif saat ofensif dan tetap tegar dalam posisi defensif.
6. KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi bahwa Waffen-SS telah membuktikan kapasitasnya sebagai suatu formasi tempur yang tangguh dalam sejarah perang modern. Namun, kembali lagi pada beberapa pembahasan di atas, karena kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, Waffen-SS tidak dianggap oleh para musuhnya sebagai suatu formasi tempur yang terhormat. Para tahanan perang Waffen-SS sering dihajar oleh musuh-musuhnya, dan diperlakukan lebih kasar daripada tahanan angkatan bersenjata lainnya. Para mantan anggota SS tidak berhak mendapatkan dana pensiun dan keuntungan-keuntungan lain seperti yang didapat anggota Heer.
Berbeda dengan SS, Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) mampu menempatkan dirinya setara dengan legiun Caesar dan Grande Armeé Napoleon sebagai suatu formasi tempur teratas sepanjang sejarah, yang bukan saja dilihat dari kemampuan tempurnya namun juga dilihat dari jiwa prajurit sebagai ksatria. Seusai perang, tahanan perang Wehrmacht lebih bersahabat dan lebih mudah diajak berkompromi; suatu hal yang lebih disukai Sekutu sehingga mereka diperlakukan dengan lebih baik.
Tidak dapat dipungkiri, SS berperan besar dalam melikuidasi begitu banyak populasi dan tahanan perang. Dapat kita lihat, di mana pasukan SS beroperasi, hampir selalu ada kejahatan perang yang mengikutinya. Perbedaan yang begitu mencolok jika kita lihat medan tempur Afrika. Tidak ada kejahatan perang massal yang terjadi di sana, seperti yang terjadi di medan Eropa. Salah satu alasan yang dapat diambil adalah karena tidak ada pasukan SS yang disebar di medan Afrika untuk fungsi tempur. Ada sebuah kantor keamanan SS yang dibuka namun hanya berfungsi untuk tugas garis belakang dan fungsi non-tempur. Antara Jerman-Italia dan Inggris juga saling menghormati satu sama lain di medan tempur. Terlebih lagi Jerman yang dipimpin oleh Rommel, dan Inggris yang akhirnya dipimpin Montgomery, dua jenderal terhormat yang menjunjung tinggi 'the rules of chivalrous warfare'.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar