George Lane, anggota pasukan Commando Inggris yang mendapat kesempatan langka bertatap-muka langsung dengan sang legenda Erwin Rommel!
Oleh : Alif Rafik Khan
Tanggalnya adalah 18 Mei 1944. Di markas besarnya Hitler diberitahu bahwa musuh telah melancarkan dua buah operasi mata-mata yang dilaksanakan pada malam hari di pantai Prancis yang dijaga dengan ketat. Di salah satu tempat, dekat Calais, pasukan Jerman telah menemukan sekop dan senter tergeletak di pasir pantai tak lama setelah tembak-menembak. Di tempat lain, di muara sungai Somme, dua orang perwira Inggris telah tertangkap. “Mereka datang ke pantai menggunakan perahu karet,” lapor Generaloberst Alfred Jodl, Kepala Operasi Wehrmacht, pada Adolf Hitler. “Interogasi terhadap mereka sejauh ini telah mengungkapkan bahwa mereka dikirim menggunakan motor boat Inggris.”
Sekarang adegan berpindah pada sebuah château (kastil) Prancis yang dibangun di atas bukit karang curam yang menghadap lembah Seine. Tanggalnya adalah 20 Mei 1944, dua hari setelah tertangkapnya dua perwira Inggris. Sebuah mobil staff kecil Jerman menderu menuju château dan berhenti disana. Dua prajurit turun dari mobil, tangan mereka kaku setelah perjalanan sejauh 240km dari garis pantai yang menghadap Selat Inggris. Mereka membawa dua orang lainnya yang diikat tangannya dan ditutup mukanya. Dua orang ini tidak memakai insignia apa-apa, tapi bekas jahitan kosong pada seragam tempur khaki-nya dengan jelas menunjukkan bahwa Combined Operation Badge ungu serta lencana bahu Special Service telah dicopot dari tempatnya: mereka adalah pasukan Commando Inggris. Penutup muka mereka kemudian dibuka, dan mereka langsung mengejapkan mata karena silau dengan cahaya matahari. Ekspresi mereka suram: mereka tahu bahwa Hitler telah memberikan perintah tegas bahwa setiap pasukan komando yang tertangkap akan diserahkan pada Gestapo dan langsung dieksekusi.
Ketika mereka dimasukkan ke dalam sel, mereka mendapati teh dan sandwich telah menunggu. Salah satu di antara mereka, Lieutenant Roy Woodridge, secara sopan menolak untuk bicara. Satunya lagi, Lieutenant George Lane, lebih mudah untuk diajak ngadu huntu dan kemudian dibawa untuk menemui Oberst Hans-Georg von Tempelhoff. Seorang pria tampan berambut pirang yang ramah, Tempelhoff berdiri dan menjabat tangannya. “Pastinya sekarang di Inggris cuaca sedang indah indahnya,” katanya dengan antusias.
Wajah Lane mengungkapkan dengan jelas keterkejutannya akan bahasa Inggris fasih si kolonel Jerman. Tempelhoff menjelaskan: “Istri saya orang Inggris.” Untuk sesaat dia berdiri menatap Lane, lalu mempersilakan dia untuk mencuci muka dan tangannya, membersihkan kukunya dan berdandan serapi mungkin. “Anda akan bertemu dengan orang penting. Sebenarnya, sangat penting malah… Generalfeldmarschall Rommel!”
Invasi besar-besaran Sekutu ke wilayah Prancis yang diduduki tinggal berselang 17 hari lagi. Di pelabuhan-pelabuhan Inggris armada raksasa sedang dipersiapkan untuk operasi tersebut. Di Prancis sendiri, Hitler telah menempatkan satu orang di tongkat komando, marsekal favoritnya Erwin Rommel, si Rubah Gurun yang ditakuti. Rommel adalah veteran dalam kampanye melawan Inggris dan Amerika. Dia tahu persis cara melawan mereka, dan percaya sepenuh hati bahwa dia bisa memperkirakan dengan tepat langkah mereka selanjutnya. Pesawat-pesawat pengintai Luftwaffe telah mendapati kapal-kapal pendarat yang berjejalan di seberang Selat Inggris dari muara sungai Somme. Operasi mata-mata komando terakhir yang dilakukan di pantai yang sama telah memperjelas bagi Rommel ke wilayah mana invasi Sekutu akan dilangsungkan. Yang tidak dia ketahui adalah, bahwa kapal-kapal pendarat itu adalah bohongan dan pasukan komando kecil tersebut sengaja “diumpankan” ke tangan Nazi untuk memberikan informasi yang menyesatkan kepada mereka! Itu semua merupakan bagian dari muslihat penipuan yang diberi kode “Fortitude” (Keuletan), dengan intelijen Inggris berada di baliknya.
Rommel telah memilih château tersebut sebagai markas taktisnya karena didalamnya terdapat jaringan gudang bawah tanah. Selain itu, dia juga telah membuat lorong-lorong anti-bom yang terhubung dalam ke bukit karang di belakangnya. Selama lima bulan terakhir Rommel telah mempersiapkan pasukan Jerman untuk pertempuran akbar yang akan datang dan menciptakan secara pribadi metode serta alat-alat pertahanan anti invasi semacam papan besar berpaku, mata kail, jebakan bawah air, ladang ranjau, dan kawat berduri. Dia tidak terkejut bila Inggris pasti berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukannya.
Saat Lane dibawa ke ruang kerja Rommel, sang Marsekal sedang duduk di mejanya di sudut, melihat ke jendela. Ruangan tersebut panjang dan dihiasi oleh empat permadani mahal yang tak ternilai harganya; karpet langka yang terhampar di lantai yang digosok sampai mengkilap; serta jambangan porselin dan lampu antik yang dipajang di dinding. Rommel sendiri mempunyai perawakan pendek kekar dengan rambut rapi yang mulai menipis. Rahangnya kukuh dan mata biru abu-abunya menusuk tajam. Kulitnya kecoklat-coklatan hasil dari berminggu-minggu inspeksi ke berbagai benteng pantai baru yang membentuk Atlantikwall. Di lehernya tercantol dua medali super bergengsi: Pour le Mérite, medali tertinggi Prusia yang didapatkannya dalam Perang Dunia Pertama, dan Brillanten zum Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes mit Eichenlaub und Schwertern yang didapatkannya dalam Perang Dunia edisi “terbaru”.
Rommel bangun, berjalan mengitari mejanya dan secara sopan menyambut perwira Inggris tersebut. Dia lalu mempersilakan Lane untuk duduk di sekitar meja bundar di pinggir ruangan yang dikelilingi oleh kursi antik. Di meja tersebut pelayan telah meletakkan koleksi teko teh kecil dengan gelas keramik buatan Cina.
“Jadi, anda adalah salah satu dari kawanan gangster komando itu?” Rommel bertanya pada tawanannya.
“Saya seorang Komando dan saya bangga karenanya. Tapi saya bukan gangster. Tak ada satupun dari kami yang seperti itu.”
“Mungkin anda bukanlah gangster, tapi kita punya pengalaman jelek dengan gerombolan komando seperti anda. Mereka tidak selalu bertindak sepantasnya seperti apa yang seharusnya mereka lakukan.” Rommel tersenyum seakan memberi arti. “Situasi anda saat ini bisa dibilang runyam. Saya yakin anda tahu hukuman apa yang menanti para pelaku sabotase…”
Lane berbalik ke penterjemah dan berkomentar, “bila marsekal anda menganggap saya sebagai pelaku sabotase, dia tidak akan mengundang saya kesini.”
“Jadi anda menganggap ini adalah sebuah undangan?” Tanya Rommel sambil nyengir.
Lane membungkuk sedikit. “Ya, dan saya hanya bisa berkata bahwa saya sangat tersanjung karenanya.”
Mendengarnya semua orang langsung tertawa kecil. Rommel basa-basi bertanya, “bagaimana kabar teman lama saya jenderal Montgomery?”
“Kabarnya sangat baik, terimakasih,” jawab Lane. “Saya dengar dia sedang menyiapkan semacam invasi…”
Rommel pura-pura terkejut. “Jadi anda kira itu akan benar-benar terjadi?”
“Setidaknya itulah yang dikatakan oleh ‘Times’ (nama surat kabar terkemuka) pada kami,” sang tawanan menjawab, “dan biasanya keterangannya cukup bisa diandalkan.”
“Anda sadar bahwa ini akan menjadi kali pertama Inggris harus bertempur secara fair dengan kami?”
“Lalu bagaimana dengan Afrika?”
“Ah, itu hanya permainan anak-anak,” ejek Rommel. “Alasan satu-satunya saya harus mundur adalah karena saya tidak punya cadangan suplai lagi.”
Selama 20 menit selanjutnya Rommel mengenang tentang peperangan yang telah dijalaninya dan mengajari Lane tentang Inggris dan imperiumnya yang memudar, juga tentang masa depan cerah Hitler dan Third Reich-nya. Lane diam mendengarkan dan akhirnya meminta izin untuk bertanya: “Apakah tuan bermaksud mengatakan pada saya bahwa pendudukan militer adalah situasi ideal untuk Negara yang akan musnah?”
Rommel mendebat bahwa dengan pendidikan dan latihan yang dijalaninya, maka setiap prajurit mempunyai “bakat” untuk menjadi diktator yang ideal. Prajurit sudah terbiasa mengalami krisis, dan mereka tahu cara bertindak bahkan di keadaan paling darurat sekalipun. “Bila anda melakukan perjalanan keliling Prancis saat ini dan membiarkan mata anda tetap terbuka, maka anda akan melihat betapa bahagia dan puasnya rakyat Prancis. Untuk pertama kalinya mereka tahu apa yang harus mereka lakukan – karena kamilah yang mengatakannya pada mereka. Dan cara seperti itulah yang sesuai untuk orang-orang di jalanan!”
Setelah beberapa lama, penutup mata dikenakan kembali ke Letnan Lane. Dalam wawancara yang singkat ini sesuatu tentang pesona Rommel telah “menyeterumnya”, dan saat dia dibimbing keluar menuju ke mobil untuk melanjutkan perjalanan dengan selamat ke kamp tawanan – seperti yang telah dijamin oleh sang Marsekal – Lane menggenggam tangan Oberst Anton Staubwasser, perwira intelijen Rommel.
“Dapatkah saya meminta tolong pada anda,” katanya. “Dimanakah saya sekarang?”
Staubwasser secara sopan menolak untuk menjawabnya, untuk alasan keamanan. Lane menggenggam tangannya lebih erat lagi dan memohon padanya: “Saya bersumpah saya tidak akan mengatakannya pada seorangpun. Tapi bila perang ini sudah berakhir saya ingin kembali lagi kesini bersama istri dan anak-anak saya – saya ingin memperlihatkan pada mereka dimana saya bertemu dengan Rommel!”
Catatan:
Kisah tentang interogasi anggota Komando Inggris ini terdokumentasikan dengan baik di catatan milik mantan perwira intelijen Wehrmacht yang disimpan di Hutan Hitam Jerman. Kisah yang sama juga termaktub dalam sebuah catatan kecil di salah satu konferensi perang yang biasa dilakukan oleh Hitler, yang kini tersimpan di sebuah universitas Amerika. Dia juga diceritakan ulang dalam buku harian perwira-perwira Jerman yang dekat dengan Rommel, dan jangan lupakan pula penuturan dari George Lane sendiri, yang dia bukukan saat dia pulang ke Inggris.
Sumber :
Buku “The Trail of the Fox: The Search for the True Field Marshal Rommel” oleh David Irving
Tanggalnya adalah 18 Mei 1944. Di markas besarnya Hitler diberitahu bahwa musuh telah melancarkan dua buah operasi mata-mata yang dilaksanakan pada malam hari di pantai Prancis yang dijaga dengan ketat. Di salah satu tempat, dekat Calais, pasukan Jerman telah menemukan sekop dan senter tergeletak di pasir pantai tak lama setelah tembak-menembak. Di tempat lain, di muara sungai Somme, dua orang perwira Inggris telah tertangkap. “Mereka datang ke pantai menggunakan perahu karet,” lapor Generaloberst Alfred Jodl, Kepala Operasi Wehrmacht, pada Adolf Hitler. “Interogasi terhadap mereka sejauh ini telah mengungkapkan bahwa mereka dikirim menggunakan motor boat Inggris.”
Sekarang adegan berpindah pada sebuah château (kastil) Prancis yang dibangun di atas bukit karang curam yang menghadap lembah Seine. Tanggalnya adalah 20 Mei 1944, dua hari setelah tertangkapnya dua perwira Inggris. Sebuah mobil staff kecil Jerman menderu menuju château dan berhenti disana. Dua prajurit turun dari mobil, tangan mereka kaku setelah perjalanan sejauh 240km dari garis pantai yang menghadap Selat Inggris. Mereka membawa dua orang lainnya yang diikat tangannya dan ditutup mukanya. Dua orang ini tidak memakai insignia apa-apa, tapi bekas jahitan kosong pada seragam tempur khaki-nya dengan jelas menunjukkan bahwa Combined Operation Badge ungu serta lencana bahu Special Service telah dicopot dari tempatnya: mereka adalah pasukan Commando Inggris. Penutup muka mereka kemudian dibuka, dan mereka langsung mengejapkan mata karena silau dengan cahaya matahari. Ekspresi mereka suram: mereka tahu bahwa Hitler telah memberikan perintah tegas bahwa setiap pasukan komando yang tertangkap akan diserahkan pada Gestapo dan langsung dieksekusi.
Ketika mereka dimasukkan ke dalam sel, mereka mendapati teh dan sandwich telah menunggu. Salah satu di antara mereka, Lieutenant Roy Woodridge, secara sopan menolak untuk bicara. Satunya lagi, Lieutenant George Lane, lebih mudah untuk diajak ngadu huntu dan kemudian dibawa untuk menemui Oberst Hans-Georg von Tempelhoff. Seorang pria tampan berambut pirang yang ramah, Tempelhoff berdiri dan menjabat tangannya. “Pastinya sekarang di Inggris cuaca sedang indah indahnya,” katanya dengan antusias.
Wajah Lane mengungkapkan dengan jelas keterkejutannya akan bahasa Inggris fasih si kolonel Jerman. Tempelhoff menjelaskan: “Istri saya orang Inggris.” Untuk sesaat dia berdiri menatap Lane, lalu mempersilakan dia untuk mencuci muka dan tangannya, membersihkan kukunya dan berdandan serapi mungkin. “Anda akan bertemu dengan orang penting. Sebenarnya, sangat penting malah… Generalfeldmarschall Rommel!”
Invasi besar-besaran Sekutu ke wilayah Prancis yang diduduki tinggal berselang 17 hari lagi. Di pelabuhan-pelabuhan Inggris armada raksasa sedang dipersiapkan untuk operasi tersebut. Di Prancis sendiri, Hitler telah menempatkan satu orang di tongkat komando, marsekal favoritnya Erwin Rommel, si Rubah Gurun yang ditakuti. Rommel adalah veteran dalam kampanye melawan Inggris dan Amerika. Dia tahu persis cara melawan mereka, dan percaya sepenuh hati bahwa dia bisa memperkirakan dengan tepat langkah mereka selanjutnya. Pesawat-pesawat pengintai Luftwaffe telah mendapati kapal-kapal pendarat yang berjejalan di seberang Selat Inggris dari muara sungai Somme. Operasi mata-mata komando terakhir yang dilakukan di pantai yang sama telah memperjelas bagi Rommel ke wilayah mana invasi Sekutu akan dilangsungkan. Yang tidak dia ketahui adalah, bahwa kapal-kapal pendarat itu adalah bohongan dan pasukan komando kecil tersebut sengaja “diumpankan” ke tangan Nazi untuk memberikan informasi yang menyesatkan kepada mereka! Itu semua merupakan bagian dari muslihat penipuan yang diberi kode “Fortitude” (Keuletan), dengan intelijen Inggris berada di baliknya.
Rommel telah memilih château tersebut sebagai markas taktisnya karena didalamnya terdapat jaringan gudang bawah tanah. Selain itu, dia juga telah membuat lorong-lorong anti-bom yang terhubung dalam ke bukit karang di belakangnya. Selama lima bulan terakhir Rommel telah mempersiapkan pasukan Jerman untuk pertempuran akbar yang akan datang dan menciptakan secara pribadi metode serta alat-alat pertahanan anti invasi semacam papan besar berpaku, mata kail, jebakan bawah air, ladang ranjau, dan kawat berduri. Dia tidak terkejut bila Inggris pasti berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukannya.
Saat Lane dibawa ke ruang kerja Rommel, sang Marsekal sedang duduk di mejanya di sudut, melihat ke jendela. Ruangan tersebut panjang dan dihiasi oleh empat permadani mahal yang tak ternilai harganya; karpet langka yang terhampar di lantai yang digosok sampai mengkilap; serta jambangan porselin dan lampu antik yang dipajang di dinding. Rommel sendiri mempunyai perawakan pendek kekar dengan rambut rapi yang mulai menipis. Rahangnya kukuh dan mata biru abu-abunya menusuk tajam. Kulitnya kecoklat-coklatan hasil dari berminggu-minggu inspeksi ke berbagai benteng pantai baru yang membentuk Atlantikwall. Di lehernya tercantol dua medali super bergengsi: Pour le Mérite, medali tertinggi Prusia yang didapatkannya dalam Perang Dunia Pertama, dan Brillanten zum Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes mit Eichenlaub und Schwertern yang didapatkannya dalam Perang Dunia edisi “terbaru”.
Rommel bangun, berjalan mengitari mejanya dan secara sopan menyambut perwira Inggris tersebut. Dia lalu mempersilakan Lane untuk duduk di sekitar meja bundar di pinggir ruangan yang dikelilingi oleh kursi antik. Di meja tersebut pelayan telah meletakkan koleksi teko teh kecil dengan gelas keramik buatan Cina.
“Jadi, anda adalah salah satu dari kawanan gangster komando itu?” Rommel bertanya pada tawanannya.
“Saya seorang Komando dan saya bangga karenanya. Tapi saya bukan gangster. Tak ada satupun dari kami yang seperti itu.”
“Mungkin anda bukanlah gangster, tapi kita punya pengalaman jelek dengan gerombolan komando seperti anda. Mereka tidak selalu bertindak sepantasnya seperti apa yang seharusnya mereka lakukan.” Rommel tersenyum seakan memberi arti. “Situasi anda saat ini bisa dibilang runyam. Saya yakin anda tahu hukuman apa yang menanti para pelaku sabotase…”
Lane berbalik ke penterjemah dan berkomentar, “bila marsekal anda menganggap saya sebagai pelaku sabotase, dia tidak akan mengundang saya kesini.”
“Jadi anda menganggap ini adalah sebuah undangan?” Tanya Rommel sambil nyengir.
Lane membungkuk sedikit. “Ya, dan saya hanya bisa berkata bahwa saya sangat tersanjung karenanya.”
Mendengarnya semua orang langsung tertawa kecil. Rommel basa-basi bertanya, “bagaimana kabar teman lama saya jenderal Montgomery?”
“Kabarnya sangat baik, terimakasih,” jawab Lane. “Saya dengar dia sedang menyiapkan semacam invasi…”
Rommel pura-pura terkejut. “Jadi anda kira itu akan benar-benar terjadi?”
“Setidaknya itulah yang dikatakan oleh ‘Times’ (nama surat kabar terkemuka) pada kami,” sang tawanan menjawab, “dan biasanya keterangannya cukup bisa diandalkan.”
“Anda sadar bahwa ini akan menjadi kali pertama Inggris harus bertempur secara fair dengan kami?”
“Lalu bagaimana dengan Afrika?”
“Ah, itu hanya permainan anak-anak,” ejek Rommel. “Alasan satu-satunya saya harus mundur adalah karena saya tidak punya cadangan suplai lagi.”
Selama 20 menit selanjutnya Rommel mengenang tentang peperangan yang telah dijalaninya dan mengajari Lane tentang Inggris dan imperiumnya yang memudar, juga tentang masa depan cerah Hitler dan Third Reich-nya. Lane diam mendengarkan dan akhirnya meminta izin untuk bertanya: “Apakah tuan bermaksud mengatakan pada saya bahwa pendudukan militer adalah situasi ideal untuk Negara yang akan musnah?”
Rommel mendebat bahwa dengan pendidikan dan latihan yang dijalaninya, maka setiap prajurit mempunyai “bakat” untuk menjadi diktator yang ideal. Prajurit sudah terbiasa mengalami krisis, dan mereka tahu cara bertindak bahkan di keadaan paling darurat sekalipun. “Bila anda melakukan perjalanan keliling Prancis saat ini dan membiarkan mata anda tetap terbuka, maka anda akan melihat betapa bahagia dan puasnya rakyat Prancis. Untuk pertama kalinya mereka tahu apa yang harus mereka lakukan – karena kamilah yang mengatakannya pada mereka. Dan cara seperti itulah yang sesuai untuk orang-orang di jalanan!”
Setelah beberapa lama, penutup mata dikenakan kembali ke Letnan Lane. Dalam wawancara yang singkat ini sesuatu tentang pesona Rommel telah “menyeterumnya”, dan saat dia dibimbing keluar menuju ke mobil untuk melanjutkan perjalanan dengan selamat ke kamp tawanan – seperti yang telah dijamin oleh sang Marsekal – Lane menggenggam tangan Oberst Anton Staubwasser, perwira intelijen Rommel.
“Dapatkah saya meminta tolong pada anda,” katanya. “Dimanakah saya sekarang?”
Staubwasser secara sopan menolak untuk menjawabnya, untuk alasan keamanan. Lane menggenggam tangannya lebih erat lagi dan memohon padanya: “Saya bersumpah saya tidak akan mengatakannya pada seorangpun. Tapi bila perang ini sudah berakhir saya ingin kembali lagi kesini bersama istri dan anak-anak saya – saya ingin memperlihatkan pada mereka dimana saya bertemu dengan Rommel!”
Catatan:
Kisah tentang interogasi anggota Komando Inggris ini terdokumentasikan dengan baik di catatan milik mantan perwira intelijen Wehrmacht yang disimpan di Hutan Hitam Jerman. Kisah yang sama juga termaktub dalam sebuah catatan kecil di salah satu konferensi perang yang biasa dilakukan oleh Hitler, yang kini tersimpan di sebuah universitas Amerika. Dia juga diceritakan ulang dalam buku harian perwira-perwira Jerman yang dekat dengan Rommel, dan jangan lupakan pula penuturan dari George Lane sendiri, yang dia bukukan saat dia pulang ke Inggris.
Sumber :
Buku “The Trail of the Fox: The Search for the True Field Marshal Rommel” oleh David Irving
Tidak ada komentar:
Posting Komentar