Julius Erasmus, sang pahlawan tanpa pamrih
Monumen untuk memperingati apa yang telah dilakukan oleh Julius Erasmus
Kompleks Pekuburan Militer Jerman di Vossenack
Monumen untuk memperingati apa yang telah dilakukan oleh Julius Erasmus
Kompleks Pekuburan Militer Jerman di Vossenack
Oleh : Alif Rafik Khan
Dalam bulan-bulan dan bahkan tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia II, mayat-mayat korban perang yang tak terkuburkan begitu seringnya dijumpai di seantero Eropa sehingga, kecuali kalau mereka berpotensi mengganggu kesehatan penduduk sekitarnya, seringkali mayat-mayat malang tersebut diacuhkan dan dibiarkan bergelimpangan saja dimana-mana!
Di beberapa tempat, mayat prajurit yang dianggap berasal dari pihak musuh dikumpulkan dan digeletakkan begitu saja di tempat terpencil, seakan ingin buru-buru disingkirkan dari pemandangan sekaligus mengubur trauma perang yang masih membekas.
Ternyata masih ada satu orang yang masih mempunyai kepedulian untuk mengatasi masalah ini. Orang mati mempunyai hak untuk dikuburkan secara layak, meskipun berasal dari pihak "lawan". Bila perlu, dia sendiri yang akan melakukan penguburan itu, walau semua orang merasa enggan atau tabu untuk melakukannya.
Julius Erasmus dilahirkan di Aachen tanggal 16 Februari 1895, dan bekerja sebagai pembuat bahan-bahan tekstil sebelum perang pecah. Dia kemudian bertugas di Wehrmacht dengan pangkat terakhir sebagai Hauptmann (Kapten) di unit zeni. Unit tempat dia bernaung terlibat pertempuran sengit melawan pasukan Amerika di hutan Hurtgen, yang tak jauh dari tempat dia dilahirkan.
Tapi bukanlah kepahlawanannya di masa perang yang mengharumkan namanya dan membuat dia mendapat penghormatan layaknya seorang pahlawan di Jerman. Hal yang dilakukannya pasca perang lah yang membuat namanya terkenal...
Pada musim panas tahun 1945, mantan tawanan perang Erasmus pulang kembali ke kampung halamannya hanya untuk menemukan seluruh anggota keluarganya telah terbunuh selama berlangsungnya Pertempuran Aachen. Semua miliknya dan juga rumahnya telah dijarah habis atau dihancurkan.
Hatinya hancur lebur. Dia lalu memutuskan untuk pindah ke sebuah kabin kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya di Hürtgenwald, tempat dimana dia bertugas hanya beberapa bulan sebelumnya (juga merupakan tempat dari beberapa pertempuran paling dahsyat dalam Perang Dunia II).Tapi ternyata Erasmus tidaklah sendirian. Di sepanjang jalan menuju kota, di bawah pohon yang hancur terkena tembakan artileri, dan di rerimbunan pohon... semuanya telah "dihias" oleh mayat-mayat korban perang yang belum dikuburkan.
"Aku tak tega melihat mereka bergelimpangan begitu saja disana, dilupakan dan tak dikuburkan," ucap Erasmus dalam sebuah wawancara untuk surat kabar pasca perang. "Hal tersebut terus-terusan menggangguku."
Lalu Erasmus mulai bertindak, hanya seorang diri, untuk mengumpulkan mayat-mayat prajurit dari berbagai bangsa yang ditemuinya.Dengan kesabaran luar biasa (dapat anda bayangkan bau menyengat yang keluar dari mayat-mayat yang telah membusuk tersebut), dia mulai mencatat identitas mereka satu demi satu demi untuk sekedar memberikan nama di nisan di atas kuburannya.
Dia menguburkan 120 jenazah pertama di pinggir hutan tersebut, sampai komunitas lokal yang mengetahui usahanya memberi dia lahan penguburan yang lebih layak, yang kini dikenal dalam peta militer dengan nama Bukit 470, salah satu wilayah yang paling diperebutkan oleh kedua belah pihak yang berseteru dalam pertempuran Hutan Hurtgen.
Ketika Erasmus sedang sibuk-sibuknya bekerja menguburkan mayat di musim panas tahun 1945 tersebut, para penduduk sekitar mulai menaruh perhatian pada apa yang dilakukannya. Satu demi satu mereka meminjamkan tangan membantu Erasmus, dan tak lama kemudian jumlahnya semakin berlipat ganda dari sebelumnya.
Jangan anda kira bahwa pekerjaan yang dilakukannya aman dari marabahaya. Bisa dibilang bahwa pekerjaan mereka begitu melelahkan, menguras fisik dan emosi, dan juga sangat beresiko. Diperkirakan 100 orang sukarelawan tewas dalam usahanya melacak dan menguburkan yang mati akibat dari ribuan ranjau darat sisa perang yang masih berserakan dimana-mana dan belum meledak. Salah satu korbannya termasuk juga Walikota Vossenack yang bernama Baptist Linzenich!
Ketika pada akhirnya terbentuk badan resmi Penguburan Militer Jerman Vossenack oleh Pemerintah Jerman Barat yang berwenang mengurusi masalah tersebut pada tahun 1952, diperkirakan bahwa Julius Erasmus telah menguburkan, baik seorang diri maupun dibantu, tidak kurang dari 1.569 prajurit yang gugur dalam perang!
Tapi Hürtgenwald masih tetap memunculkan korban-korban perang yang bermunculan dan baru ditemukan kemudian. Erasmus pun masih tetap melanjutkan usahanya beberapa waktu kemudian dengan mendapat bantuan dari masyarakat dan pemerintah. Saat ini jumlah prajurit yang dikuburkan di Vossenack mencapai 2.221 orang dan berasal dari empat negara. 930 di antaranya merupakan makam prajurit tak dikenal.
Bagaimana dengan kelanjutan kisah Erasmus? Ketika percaya bahwa pekerjaannya telah dilanjutkan oleh orang lain, dia berhenti menguburkan para korban perang pada tahun 1952 dan kemudian pergi menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak! Keberadaannya menjadi misteri nasional dan begitu banyak yang mencari dimana keberadaan pahlawan tanpa pamrih ini. Baru kemudian di tahun-tahun belakangan diketahui bahwa dia telah meninggal dunia pada tanggal 3 September 1971 di Nideggen-Abenden yang terletak di Pegunungan Eifel.
Saat ini sebuah monumen untuk memperingati Julius Erasmus telah didirikan di Pekuburan Vossenack, pekuburan yang dirintis dengan usahanya sendiri berpuluh-puluh tahun lalu.
Mari kita beri penghargaan sejenak kepada manusia luar biasa ini. Seorang manusia yang telah kehilangan segalanya akibat perang, tapi masih mempunyai rasa peduli yang besar untuk memastikan bahwa semua mayat korban perang yang ditemuinya, baik dari kalangannya maupun dari pihak musuh, mendapat penguburan yang selayaknya...
Sumber :
www.worldwartwozone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar